Selamat Datang Di Blog Anjas Maryo

Sabtu, 25 September 2010

Rasisme dan Darwinisme Sosial di Amerika

Rasisme dan Darwinisme Sosial di Amerika
Tidak hanya di Inggris, Darwinisme sosial juga memberikan dukungan bagi kaum rasis dan imperialis di negara-negara lain. Karenanya, paham ini tersebar dengan cepat ke seluruh dunia. Yang terdepan di antara para penganut teori tersebut adalah presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt. Roosevelt adalah pendukung terkemuka dan tokoh yang menerapkan program pembersihan etnis terhadap penduduk asli Amerika dengan dalih “pemindahan paksa”. Dalam buku The Winning of the West, ia merumuskan ideologi pembantaian, dan mengatakan bahwa peperangan antar ras hingga titik penghabisan melawan suku Indian sungguh tidak terelakkan.25 Yang menjadi sandaran utamanya adalah Darwinisme, yang telah memberikan dalih baginya untuk menganggap penduduk asli sebagai spesies terbelakang.
Sebagaimana perkiraan Roosevelt, tak satupun perjanjian dengan penduduk asli Amerika yang dihormati, dan ini pun mendapatkan pembenaran palsu dari teori “ras terbelakang”. Pada tahun 1871, Konggres mengabaikan semua perjanjian yang dibuat dengan penduduk asli Amerika dan memutuskan untuk membuang mereka ke daerah tandus, tempat mereka menunggu-nunggu saat datangnya kematian. Jika pihak lain tidak dianggap sebagai manusia, bagaimana mungkin perjanjian yang dibuat dengan mereka memiliki keabsahan?
Roosevelt juga mengemukakan bahwa peperangan antar ras sebagaimana disebutkan di atas merupakan tanda keberhasilan tersebarnya orang-orang berbahasa Inggris (Anglo-Saxons) ke seluruh dunia.26
Salah seorang pendukung utama rasisme Anglo-Saxon, pendeta evolusionis Protestan asal Amerika, Josiah Strong, memiliki jalan berpikir yang sama. Ia menulis perkataan berikut:
Kemudian dunia benar-benar akan memasuki babak baru dalam sejarahnya – kompetisi akhir di antara ras-ras di mana ras Anglo-Saxon tengah menjalani pelatihan untuk menghadapinya. Jika perkiraan saya tidak keliru, ras kuat ini akan bergerak memasuki Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, bergerak keluar memasuki pulau-pulau yang ada di lautan, ke seberang memasuki Afrika dan seterusnya, dan menguasai semua wilayah. Dan adakah yang meragukan bahwa hasil kompetisi ini adalah “kelangsungan hidup bagi yang terkuat?”.27
Kaum rasis terkemuka yang menggunakan Darwinisme Sosial sebagai dalih adalah mereka yang memusuhi ras kulit hitam. Mereka mengelompokkan ras menjadi beberapa tingkatan, menempatkan ras kulit putih sebagai yang paling unggul dan kulit hitam sebagai yang paling primitif. Teori-teori rasis mereka ini sangat bersesuaian dengan teori evolusi.28
Salah seorang pakar teori rasis evolusionis terkemuka, Henry Fairfield Osborn, menulis dalam sebuah artikel berjudul The Evolution of Human Races bahwa “kecerdasan standar rata-rata orang Negro dewasa setara dengan anak muda Homo sapiens berusia sebelas tahun”29
Berdasarkan cara berpikir ini, orang-orang kulit hitam sama sekali bukan tergolong manusia. Pendukung gagasan rasis evolusionis yang terkenal lainnya, Carleton Coon, mengemuka-kan dalam bukunya The Origins of Race yang terbit pada tahun 1962 bahwa ras kulit hitam dan ras kulit putih adalah dua spesies berbeda yang telah berpisah satu sama lain pada zaman Homo erectus. Menurut Coon, ras kulit putih berevolusi lebih maju setelah pemisahan ini. Para pendukung diskriminasi terhadap ras kulit hitam telah menggunakan penjelasan ‘ilmiah’ ini sejak lama.
Keberadaan teori ilmiah yang mendu-kungnya telah meningkatkan pertumbuhan rasisme di Amerika dengan pesat. W.E. Dubois, yang dikenal sebagai penentang diskriminasi ras, menyatakan bahwa “permasalahan abad ke-20 adalah permasalahan tentang diskrimi-nasi warna kulit”. Menurutnya, kemunculan masalah rasisme yang sedemikian meluas di sebuah negara yang ingin menjadi paling demokratis di dunia, yang dalam beberapa hal tampak berhasil mencapainya, merupakan suatu keanehan yang cukup penting. Penghapusan perbudakan belumlah cukup untuk membangun persaudaraan di antara orang-orang kulit hitam dan kulit putih. Ia berpendapat bahwa diskriminasi resmi, yang dahulunya pernah diberlakukan dalam waktu singkat, pada masa sekarang telah menjadi suatu kenyataan dan keadaan yang sah secara hukum, yang jalan keluarnya masih dalam pencarian30
Kemunculan undang-undang diskriminasi ras pertama, yang dikenal sebagai “Undang-Undang Jim Crow” (Jim Crow digunakan oleh warga kulit putih sebagai salah satu nama celaan untuk orang kulit hitam) juga terjadi pada masa itu. Ras kulit hitam benar-benar tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia, dipandang rendah dan diperlakukan dengan hina di mana-mana. Terlebih lagi, ini bukanlah sikap segelintir rasis secara orang per orang, namun telah ditetapkan sebagai kebijakan resmi negara Amerika dengan undang-undangnya tersendiri. Segera setelah dikeluarkannya undang-undang pertama yang menyetujui pemisahan ras pada kereta api dan trem di Tennessee pada tahun 1875, seluruh negara bagian di Selatan menerapkan pemisahan ini pada kereta api mereka. Tanda bertuliskan “Whites Only” (“Hanya Untuk Kulit Putih”) dan “Blacks” (“Kulit Hitam”) tergantung di mana-mana. Sebenarnya, semua ini hanyalah pemberian status resmi pada keadaan yang sebelumnya telah ada. Pernikahan antar ras yang berbeda dilarang. Menurut undang-undang yang berlaku, pemisahan ras wajib dilaksanakan di rumah sakit, penjara, dan tempat pemakaman. Pada penerapannya, peraturan ini juga merambah ke hotel, gedung pertunjukan, perpustakaan, bahkan lift dan gereja. Tempat di mana terjadi pemisahan ras paling jelas adalah sekolah. Penerapan kebijakan ini berdampak paling besar terhadap warga kulit hitam, dan merupakan penghalang utama bagi kemajuan peradaban mereka.
Penerapan kebijakan pemisahan ras diwarnai dengan gelombang kekerasan. Terjadi peningkatan tajam pada jumlah orang kulit hitam yang dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan. Antara tahun 1890 dan 1901, sekitar 1.300 orang kulit hitam dihukum mati. Akibat perlakuan ini, orang-orang kulit hitam melakukan perlawanan di beberapa negara bagian.
Gagasan dan teori rasis mewarnai masa-masa tersebut. Tak lama kemudian, rasisme biologis Amerika diterapkan sebagaimana hasil penelitian yang dicapai R. B. Bean melalui metoda pengukuran tengkoraknya, dan dengan dalih melindungi penduduk benua baru tersebut dari gelombang migrasi tak terkendali, muncullah rasisme Amerika gaya . Madison Grant, pengarang buku The Passing of the Great Race (1916) menulis bahwa percampuran dua ras tersebut akan menyebabkan munculnya ras yang lebih primitif dibanding spesies berkelas rendah, dan ia menghendaki pelarangan atas perkawinan antar ras. 31
Rasisme telah ada di Amerika sebelum Darwin, sebagaimana halnya di seluruh dunia. Namun, seperti yang telah kita ketahui, Darwinisme memberikan dukungan nyata terhadap pandangan dan kebijakan rasis di paruh kedua abad ke-19. Sebagai contoh, sebagaimana yang telah kita pahami dalam bab ini, ketika para pendukung rasisme melontarkan pandangan mereka, mereka menggunakan pernyataan Darwinisme sebagai dalih. Gagasan yang dianggap biadab sebelum masa Darwin, kini mulai diterima sebagai hukum alam.


Kebijakan Biadab Pendukung Rasisme-Darwinisme
Pemusnahan Warga Aborigin

Penduduk asli benua Australia dikenal dengan sebutan Aborigin. Orang-orang yang telah mendiami benua tersebut selama ribuan tahun mengalami salah satu pemusnahan terbesar sepanjang sejarah seiring dengan penyebaran para pendatang Eropa di benua tersebut. Alasan ideologis pemusnahan ini adalah Darwinisme. Pandangan para ideolog Darwinis tentang suku aborigin telah memunculkan teori kebiadaban yang harus diderita mereka.
Pada tahun 1870, Max Muller, seorang antropolog evolusionis dari London Anthropological Review, membagi ras manusia menjadi tujuh tingkatan. Aborigin berada di urutan terbawah, dan ras Arya, yaitu orang kulit putih Eropa, di urutan teratas. H.K. Rusden, seorang Darwinis Sosial terkenal, mengemukakan pendapat-nya tentang suku aborigin pada tahun 1876 sebagaimana berikut:
Kelangsungan hidup bagi yang terkuat memiliki arti: kekuatan adalah kebenaran. Dan dengan demikian kita gunakan hukum seleksi alam yang tidak pernah berubah tersebut dan menerapkannya tanpa perasaan belas kasih ketika memus-nahkan ras-ras terbelakang Australia dan Maori...dan kita rampas warisan leluhur mereka tanpa merasa bersalah. 32
Pada tahun 1890, Wakil Presiden Royal Society of Tasmania, James Barnard, menulis: “proses pemusnahan adalah sebuah aksioma hukum evolusi dan keberlangsungan hidup bagi yang terkuat.” Oleh sebab itu, ia menyimpulkan, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa “ada tindakan yang patut dicela” dalam pembunuhan dan perampasan terhadap warga aborigin Australia.33
Akibat pandangan rasis, yang tak mengenal belas kasih, dan biadab yang dikemukakan Darwin, pembantaian dasyat dimulai dengan tujuan memusnahkan warga aborigin. Kepala orang-orang aborigin dipasang menggunakan paku di atas pintu-pintu stasiun. Roti beracun diberikan kepada para keluarga aborigin. Di banyak wilayah di Australia, areal pemukiman aborigin musnah dengan cara biadab dalam waktu 50 tahun.34
Kebijakan yang ditujukan terhadap aborigin tidak berakhir dengan pembantaian. Banyak dari ras ini yang diperlakukan layaknya hewan percobaan. The Smithsonian Institute di Washington D.C. menyimpan 15.000 sisa mayat manusia dari berbagai ras. Sejumlah 10.000 warga aborigin Australia dikirim melalui kapal ke Musium Inggris dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar mereka adalah “mata rantai yang hilang” dalam peralihan bentuk binatang ke bentuk manusia.
Musium tidak hanya tertarik dengan tulang-belulang, pada saat yang sama mereka menyimpan otak orang-orang aborigin dan menjualnya dengan harga mahal. Terdapat pula bukti bahwa warga aborigin Australia dibunuh untuk digunakan sebagai bahan percobaan. Kenyataan sebagaimana dipaparkan di bawah ini adalah saksi kekejaman tersebut:
Sebuah catatan akhir hayat dari Korah Wills, yang menjadi mayor Bowen, Queensland pada tahun 1866, secara jelas menggambarkan bagaimana ia membunuh dan memotong-motong tubuh seorang anggota suku setempat pada tahun 1865 untuk menyediakan bahan percobaan ilmiah.
Edward Ramsay, kepala Musium Australia di Sydney selama 20 tahun sejak 1874, terlibat secara khusus. Ia menerbitkan sebuah buku saku Musium yang memasukkan aborigin dalam golongan “binatang-binatang Australia”. Buku kecil tersebut itu juga memberikan petunjuk tidak hanya tentang cara bagaimana merampok kuburan, namun juga bagaimana menutup luka akibat peluru pada “spesimen” yang baru terbunuh.
Evolusionis Jerman, Amalie Dietrich (yang dijuluki ‘Angel of Black Death’ atau ‘Malaikat Kematian si Hitam’) datang ke Australia untuk meminta kepada para pemilik areal pertanian sejumlah orang Aborigin untuk ditembak dan digunakan sebagai spesimen, terutama kulitnya untuk diisi dengan bahan tertentu untuk kemudian dipajang, untuk diberikan kepada atasannya di Museumnya. Meskipun barang-barangnya telah dirampas, ia dengan segera balik ke negaranya sambil membawa sejumlah spesimennya.
Misionaris New South wales adalah saksi yang merasa ngeri terhadap pembantaian yang dilakukan oleh polisi berkuda terhadap sekelompok yang beranggotakan lusinan orang aborigin, perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala kemudian direbus dan 10 tengkorak terbaiknya dibungkus dan di kirim ke luar negeri. 35
Pemusnahan suku aborigin berlanjut hingga abad ke-20. Di antara cara yang dipergunakan dalam pemusnahan ini adalah pengambilan paksa anak-anak aborigin dari keluarga mereka. Kisah baru oleh Alan Thornhill, yang muncul di Philadelphia Daily News edisi 28 April 1997, mengisahkan perlakuan terhadap suku aborigin sebagai berikut:

sumber : http://miztalie.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar