Selamat Datang Di Blog Anjas Maryo

Rabu, 22 September 2010

Dominasi Amerika di Dunia: Tidak Hanya Sebatas Dalang

Penulis : Yudha P Sunandar
Di Indonesia, dalam melihat kejadian sejarah, kita seringkali terjebak dalam pandangan ‘Dalang’ atau ‘Aktor’ di balik sebuah peristiwa sejarah. Bila telah menemukan ‘Dalang Peristiwa’, pembahasan sebuah kejadian sejarah dianggap selesai. Padahal, sejatinya tidak berhenti di situ.

Dalam budaya tradisi pewayangan Jawa, dalang adalah unsur penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah orang yang memiliki hajat. Bagaimana pun, orang yang memiliki hajat, akan menentukan siapa lakon dan cerita dalam sebuah pewayangan. Berdasarkan penentuan lakon dan cerita inilah, sang pemilik hajat akan menentukan siapa dalang untuk membawakan lakon dan jalan ceritanya.

Demikian disampaikan Hendrajit dalam peluncuran dan bedah buku terbarunya berjudul Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia di Museum Konferensi Asia-Afrika (KAA), Selasa (20/7).

Selain Hendrajit, hadir juga sebagai pembicara penulis buku Obama Revealed dan pengamat hubungan internasional Dina Y Sulaeman. Sebagai moderator, penulis sekaligus budayawan Hawe Setiawan. Kegiatan yang dihadiri sekitar 50 orang ini, diselenggarakan oleh Asian-African Reading Club dan didukung oleh Museum Konferensi Asia-Afrika dan Global Future Institute.

Hendrajit mencontohkan dengan peristiwa keruntuhan Soekarno di Indonesia pada tahun 1965 silam. Menurutnya, ujung tombak kejadian tersebut adalah PT Freeport pada tahun 1959 yang kala itu masih bernama Freeport Sulphur. Freeport Sulphur sendiri merupakan perusahaan tambang Amerika yang memiliki hubungan dengan dinasti pebisnis minyak Amerika, Rockefeller.

Ketika itu, Freeport kehilangan lahannya dalam bidang pembuatan biji Nikel di Nicaro, Kuba, akibat tumbangnya rezim sayap kanan Batista dan tampilnya pemimpin revolusi Kuba Fidel Castro. Situasi tersebut membuat Freeport harus mencari lahan tambang lain. Forbes Wilson, direktur Freeport kala itu, mengetahui adanya kandungan biji tembaga yang cukup besar di Irian Jaya, yang kala itu masih bernama Irian Barat.

Hendrajit melanjutkan, karena Irian Jaya masih dikuasai Belanda kala itu, akhirnya Freeport langsung membuat perjanjian dengan Belanda pada Februari 1960 untuk mengeksplorasi barang tambang di daerah tersebut. Benar saja, Freeport menemukan banyak kandungan besi dan tembaga di bukit Tembaga, Irian Jaya.

Namun, kerjasama ini terancam batal. John F Kenedy yang terpilih sebagai presiden Amerika Serikat menggantikan Dwight Elisenhower saat itu, meluncurkan tesis utama yang menyatakan, bila ingin menjatuhkan komunis di Asia, Soekarno harus dirangkul. Tesis ini mengancam kedudukan korporasi Amerika di dunia, termasuk kedudukan Freeport di Irian Jaya.

Ancaman terhadap keberadaan korporasi Amerika di dunia, lanjut mantan Wapemred tabloid Detak ini, memicu terjadinya kudeta di dunia. Bukan hanya menimpa Soekarno yang berencana menasionalisasikan semua perusahaan asing di Indonesia, tetapi juga terhadap presiden Kennedy. Kennedy sendiri dibunuh di Dallas, Texas. Dallas sendiri merupakan pusat dinasti minyak Amerika Rockefeller, bermarkas.

“Dalang utamanya adalah Soeharto, memang sepenuhnya benar. Tapi tidak sampai di situ saja. Kita juga harus tahu siapa yang punya hajat. Biasanya, pemegang hajat tidak pernah mampu diidentifikasikan, sehingga kita tidak pernah mampu melihat duduk persoalannya,” tandas Hendrajit panjang lebar.

Penyadaran Sebagai Tameng Dominasi Asing
Pembicara dalam bedah buku Tangan-Tangan Amerika di Museum Konferensi Asia-Afrika, Selasa (20/07/2010). Dari kiri ke kanan: penulis buku Hendrajit, pengamat hubungan internasional Dina Y Sulaeman, dan budayawan Hawe Setiawan.

Pembicara dalam bedah buku Tangan-Tangan Amerika di Museum Konferensi Asia-Afrika, Selasa (20/07). Dari kiri ke kanan: penulis buku Hendrajit, pengamat hubungan internasional Dina Y Sulaeman, dan budayawan Hawe Setiawan.

Guna melawan dominasi Amerika Serikat di dunia, Dina Y Sulaeman menilai bahwa bangsa di dunia, termasuk Indonesia, memerlukan penyadaran. Penyadaran ini erat kaitannya dengan tersedianya pilihan bagi masyarakat sebuah negara. “Harus ada pelepasan-pelepasan diri dari tegangan-tegangan dan tarikan-tarikan dari luar. Sehingga kita (masyarakat Indonesia) bisa memilih mana yang terbaik (untuk Indonesia),” usul alumni Sastra Arab Universitas Padjadjaran ini.

Dina mencontohkan dengan petani di Indonesia yang tidak memiliki banyak pilihan. Menurutnya, petani tidak bisa menanam padi karena tidak tersedianya pupuk yang murah di Indonesia. Hal ini disebabkan larangan Amerika terhadap subsidi pupuk untuk petani. “Andai saja pemimpin kita (Indonesia) punya kesadaran, mungkin hal ini (intervensi asing) tidak akan terjadi,” ungkap Dina.

Salah satu bentuk penyadaran, lanjut Dina, adalah tidak menjadikan Amerika sebagai teman secara politis. Dalam hal ini, Iran dan beberapa negara Amerika Latin dinilai berhasil melakukan penyadaran. “Meskipun masyarakat Iran mengkonsumsi produk Amerika, menonton film Hollywood, dan mengunduh musik dari Amerika, tetapi ketika pemilu, mereka sadar siapa pemimpin yang baik dan harus mereka pilih,” tutur mahasiswa magister hubungan internasional Unpad ini.

Meskipun begitu, menumbuhkan kesadaran tidaklah mudah dan instan. “Iran saja membutuhkan waktu 200 tahun untuk menumbuhkan kesadaran. Karena mereka negara Islam, mudah bagi mereka mendefinisikan musuh, yaitu mereka yang tidak menggunakan kaidah Islam,” terang penulis Doktor Cilik Hafal dan Paham Alquran ini.

Di Indonesia sendiri, kesadaran akan dominasi pihak asing bisa ditumbuhkan dengan tulisan. “Kalau agak sulit menulis, bisa dengan meneruskan pesan-pesan penyadaran bahwa bangsa kita telah terjajah,” simpul Dina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar