Selamat Datang Di Blog Anjas Maryo

Kamis, 30 September 2010

ASPEK SOSIAL EKONOMI KERAGAMAN HAYATI

Manusia dimanapun berada dipengaruhi oleh faktor biotik maupun faktor abiotik.
Semua organisme hidup mulai dari organisme bersel tunggal sampai organisme tingkat tinggi
seperti berbagai jenis tumbuhan dan hewan dikenal dengan istilah keragaman hayati. Adanya
keragaman hayati memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pengetahuan
dan teknologi untuk memanfaatkan berbagai sumber daya hayati guna memenuhi kebutuhan
manusia sehari-hari seperti makanan, obat-obatan, produk industri dan perumahan. Oleh
karena itu, berbagai aspek kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung sangat
dipengaruhi oleh keragaman hayati.
Kata kunci: Kehidupan sehari-hari, Keanekaragaman
PENDAHULUAN
Keragaman hayati (biodiversity atau biological diversity) merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kekayaan berbagai bentuk kehidupan diplanit bumi ini
mulai dari organisme bersel tunggal sampai organisme tingkat tinggi. Keragaman hayati
mencakup keragaman habitat, keragaman spesies (jenis) dan keragaman genetik (variasi sifat
dalam spesies).
Sedikitnya ada 5.100 spesies tumbuhan digunakan masyarakat untuk ramuan obat
cina. Sekitar 80% penduduk di Dunia ketiga (lebih kurang 3 milyar) tergantung pada
pengobatan tradisonal (Shiva, 1994). Selain pengobatan tradisional, pengobatan moderenpun
sangat tergantung pada keragaman hayati terutama tumbuhan dan mikroba.
Indonesia adalah salah satu pusat keragaman hayati terkaya didunia. Di Indonesia
terdapat sekitar 25.000 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga dunia).
Jumlah spesies mamalia adalah 515 (12% dari jumlah mamalia dunia). Selain itu ada 600
spesies reptilia; 1500 spesies burung dan 270 spesies amfibia. Diperkirakan 6.000 spesies
tumbuhan dan hewan digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Ada sekitar 7.000 spesiers ikan air tawar maupun laut merupakan sumber protein
utama bagi masyarakat Indonesia (Shiva, 1994).
Masyarakat dimanapun berada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai
organisme lain yang ada pada habitat tersebut dan membentuk suatu sistem ekologi dengan
ciri saling tergantung satu sama lain. Masyarakat secara alamiah telah mengembangkan
pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh kehidupan dari keragaman hayati yang ada di
lingkungannya baik yang hidup secara liar maupun budidaya. Misalnya masyarakat pemburu
memanfaatkan ribuan jenis hewan dan tumbuhan untuk makanan, obat-obatan dan tempat
berteduh. Masyarakat petani, peternak dan nelayan mengembangkan pengetahuan dan
teknologi untuk memanfaatkan keragaman hayati di darat, sungai, danau dan laut untuk
memenuhi berbagai kebutuhan hidup mulai dari makanan, pakaian, perumahan sampai obatobatan.
Masyarakat industri memanfaatkan keragaman hayati untuk menghasilkan berbagai
produk industri seperti tekstil, industri makanan, kertas, obat-obatan, pestisida, kosmetik.
Ilustrasi ini menggambarkan bagaimana keragaman hayati sangat erat hubungannya dengan
masyarakat tanpa memandang tingkatan penguasaan teknologi, status sosial ekonomi
maupun budaya. Dengan demikian, keragaman hayati adalah tulang punggung kehidupan,
baik dari segi ekologi, sosial, ekonomi maupun budaya.
ASPEK EKONOMI
Perkembangan teknologi di suatu habitat sangat tergantung dari interaksi antara
kualitas sumberdaya manusia dan sumber daya alam yang tersedia. Oleh karena itu
keragaman hayati sangat menentukan perkembangan teknologi. Banyak teknologi yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia memanfaatkan proses-proses biologi oleh
organisme. Industri minuman beralkohol seperti anggur, bir dan roti serta pengawetan daging
telah ada sejak zaman prasejarah. Adanya keragaman jenis mikroba memungkinkan
berkembangnya teknologi fermentasi lainnya untuk menghasilkan keju, yoghurt, susu masam,
kecap dsb.
Sejak tahun 1920 teknologi fermentasi dikembangkan untuk memproduksi zat-zat
seperti aseton, butanol, etanol dan gliserin. Teknologi fermentasi juga digunakan untuk
memproduksi asam laktat dan asam asetat (Apeldoorn, 1981).
Antibiotik Penicillin yang diproduksi oleh mikroba (jamur) Penicillium notatum
berkembang secara cepat setelah Perang Dunia II. Teknologi ini mengilhami lahirnya
teknologi serupa untuk menghasilkan berbagai jenis antibiotika. Zat-zat lain seperti vitamin,
steroid, enzim dan asam amino dimungkinkan untuk diproduksi karena adanya keragaman
mikroba yang sangat berperan dalam proses tersebut. Kenyataan telah menunjukkan bahwa
industri yang tak terhitung jumlahnya memanfaatkan keragaman mikroba untuk menghasilkan
berbagai jenis barang dan jasa.
Perkembangan bidang ilmu biologi molekuler dan biologi sel yang terjadi sangat cepat
pada beberapa dasawarsa belakangan ini juga lahir dan diilhami oleh keragaman hayati yang
ada di planit bumi ini dan menjadi dasar ilmiah utama bagi perkembangan teknologi
mutakhir dalam bidang biologi (bioteknologi). Sejak ditemukannya teknologi rekombinan
DNA atau rekayasa genetik pada tahun 1973, para ahli dapat menyisipkan informasi genetik
yang betul-betul asing ke dalam mikroba. Informasi genetik ini akhirnya merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari mikroba termasuk kehidupan dan perkembangbiakkannya,
sehingga mikroba mempunyai kemampuan baru sesuai dengan informasi genetika baru yang
disisipkan. Para ahli berlomba untuk mencari berbagai jenis gen (informasi genetik) dari
keragaman hayati yang ada di alam untuk memproduksi organisme baru yang mempunyai
kemampuan untuk menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan keinginan manusia. Beberapa
jenis tanaman transgenik seperti jagung, kedele, kapas dan kentang telah dihasilkan dan
dibudidayakan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Argentina, Kanada, Australia dan
Meksiko. Di Amerika Serikat pada tahun 1998 ada sebanyak 20 juta hektar (74% dari skala
Dunia) tanaman pertanian merupakan tanaman transgenik (James, 1998). Hanya saja satu hal
yang harus diperhatikan bahwa organisme baru dari hasil rekayasa genetik jangan sampai
mengancam keberadaan keragaman hayati di bumi ini.
ASPEK SOSIAL BUDAYA
Untuk memberikan gambaran mengenai hubungan keragaman hayati dengan
perubahan sosial budaya, penulis ingin mengajak para pembaca untuk mengingat kembali
kondisi dan praktek pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Bali sebelum revolusi hijau
yaitu sebelum tahun 70-an. Petani Bali saat itu masih menanam beberapa puluh jenis atau
varietas padi local seperti : Ijo Gading, Cicih, Bengawan dan Cicih Beton. Umur padi ini
adalah sekitar 200 hari (sekitar 6 bulan). Penanaman padi selalu disesuaikan dengan
pedewasan (hari baik) yang ditentukan bersama oleh anggota Subak atas petunjuk ahli
pedewasan. Rotasi tanaman dengan berbagai jenis tanaman palawija seperti jagung, kedele
dan kacang tanah secara tertib dan ketat dilaksanakan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk
organik seperti pupuk hijau,pupuk kandang dan jerami. Panen dilakukan dengan
menggunakan ani-ani oleh kelompok pemanen (sekehe manyi) secara gotong royong. Jerami
padi dibenamkan kembali sebagai pupuk. Setelah panen, padi dikeringkan dan disimpan
dalam lumbung padi yang ada dimasing-masing rumah petani. Dengan sistem ini tingkat
produksi dapat dipertahankan selama beratus-ratus tahun tanpa adanya ledakan hama maupun
penyakit. Hal ini terjadi karena keragaman hayati di ekosistem sawah masih terpelihara
dengan baik. Komponen hayati seperti kodok, ular sawah, belut, berbagai jenis capung, kupukupu
dan lainnya dapat hidup berdampingan secara seimbang.
Sejak tahun 1970-an, diperkenalkanlah jenis padi berumur pendek yaitu sekitar 105
hari mempunyai kemampuan produksi tinggi, sehingga memungkinkan menanam dua kali
setahun. Petani mulai merubah varietas lokal dengan varietas baru. Varietas baru ini
memerlukan banyak unsur nitrogen melebihi kapasitas bakteri pengikat nitrogen yang ada di
dalam tanah untuk menyediakan, sehingga petani harus membeli pupuk buatan. Dengan
menanam satu atau dua jenis padi secara terus menerus dalam areal yang sama mengakibatkan
populasi hama meningkat, sehingga petani harus menyemprot menggunakan pestisida.
Sayang sekali,pestisida ini tidak hanya mematikan hama sasaran, tetapi juga berbagai jenis
organisme non-target seperti laba-laba, kodok, ular sawah yang merupakan komponen
penting untuk mempertahankan ekosistem sawah.. Terganggunya keragaman hayati ini pada
akhirnya membawa dampak yang sangat serius tidak saja dari segi ekologis tetapijuga sosial
ekonomi dan budaya. Penyuluh belut dan pencari kodok hampir lenyap keberadaannya dan
kini tinggal kenangan saja. Dengan varietas baru petani harus menyediakan sarana produksi
yang semuanya harus dibeli dan sangat tergantung dari pabrik. Kondisi ini mendorong petani
untuk menebaskan padinya saat di sawah sebelum panen untuk memperoleh uang secara
cepat, sementara “Jineng atau Kelumpu” sama sekali tidak berfungsi sehingga kini sebagian
besar keluarga petani tidak memilikinya lagi. Tidak adanya “Jineng atau Kelumpu”
menghilangkan salah satu kegiatan relegi petani yang berkaitan dengannya. Sekehe manyi
kini sudah hampir lenyap dan substansi gotong-royongpun sudah mulai bergeser.
Pertimbangan ekonomis menjadi dominan dalam kehidupan masyarakat.
USAHA PELESTARIAN KERAGAMAN HAYATI
Salah satu krisis yang dihadapi masyarakat saat ini adalah krisis keragaman di
berbagai bidang. Krisis ini terjadi akibat arus globalisasi dan efisiensi yang menuntut
keseragaman. Makanan tradisional yang beragam mulai digusur oleh makanan moderen
seperti roti, burger. Buah local telah tergusur oleh buah impor. Pada survei yang dilakukan
pada bulan Mei 2000 pada tiga supermarket dan tiga pasar tradisional di Denpasar ditemukan
bahwa hampir 75% buah yang dijual di supermarket maupun pasar tradisional merupakan
buah impor (Triyuliani, 2000). Walaupun Bali mempunyai puluhan jenis pepaya lokal,
namun sangat jarang dijumpai di supermarket maupun warung tradisional dan sudah diganti
dengan pepaya Bangkok. Buah tropis lokal Bali seperti Badung, Mundeh,Klecung, Leket dan
yang lainnya hampir tidak pernah dijumpai lagi. Masyarakat Bali yang dulunya banyak
memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk pengobatan tradisional kini telah beralih
menggunakan obat-obatan buatan pabrik, sehingga lambat laun keberadaan tumbuhan tersebut
juga teracam dari kepunahan.
Untuk skala dunia, diperkirakan tingkat kepunahan spesies pada tahun 1990-an
mencapai 10.000 spesies per tahun (satu spesies per jam), sehingga selama kurun waktu 30
tahun sekitar satu juta spesies akan hilang (Wilson, 1988). Oleh karena itu, usaha pelestarian
keragaman hayati menjadi sangat penting dan harus dilakukan secara sistematis, terprogram,
baik melalui proses pendidikan (formal dan nonformal), di sekolah maupun dilingkungan
masyarakat maupun melalui perangkat hukum (Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Daerah maupun Awig-awig). Selain itu, kegiatan penelitian inventarisasi dan
pemanfaatan keragaman hayati perlu lebih digalakkan, baik oleh universitas,lembaga
penelitian maupun oleh sektor industri.
Masyarakat Hindu Bali sebenarnya telah menanamkan berbagai dasar pelestarian
terhadap keragaman hayati. Konsep Tri Hita Karana merupakan salah satu pemikiran
bagaimana sebaiknya kita menjalin hubungan dengan komponen-komponen alam semesta ini
agar kehidupan manusia di bumi ini bisa dilestarikan. Berbagai kearifan ekologis telah
diciptakan oleh nenek moyang masyarakat Bali dalam rangka menjaga kelestarian alam
beserta isinya. Pendirian Pura di tempat-tempat tertentu (kebanyakan kawasan hutan/gunung)
disertai dengan berbagai peraturan seperti pelarangan menebang pohon besar dengan radius
tertentu dari pura, pelarangan penebangan pohon disekitar mata air, pelarangan pemburuan
hewan pada kawasan tertentu semua merupakan pemikiran dan konsep untuk melestarikan
keragaman hayati. Adanya perayaan khusus untuk tumbuh-tumbuhan (Tumpek Pengatag atau
Tumpek Uduh) dan perayaan khusus untuk hewan (Tumpek Kandang) yang dilakukan setiap
210 hari sekali merupakan cerminan bahwa masyarakat Hindu Bali secara konsep maupun
pelaksanaan selalu menempatkan komponen hayati yang ada di alam ini sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupannya
Secara umum,masyarakat Hindu Bali menyelenggarakan upacara dengan membuat
sesajen yang bahan-bahannya sangat beragam yang diambil dari alam. Pada kasus upacara
besar seperti Upacara Eka Dasa Ludra di Pura Besakih bahan-bahan upacara jumlahnya
sampai ribuan jenis yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan maupun hewan. Sekitar 90
jenis pisang; 125 jenis temu-temuan, 40 jenis kelapa dan berbagai jenis tumbuhan dan hewan
lainnya digunakan pada upacara tersebut (Mangku Ngakan, komunikasi pribadi pada tanggal
25 April 1999). Makna dan simbul yang terkandung di dalamnya adalah bahwa semua jenis
tumbuhan dan hewan tersebut harus dilestarikan karena sangat diperlukan untuk menjaga
keselarasan kehidupan.
Untuk masa mendatang perlu diupayakan usaha secara sistematis agar di satu pihak
pelestarian keragaman hayati dapat dilakukan dan di pihaklain dapat memberikan manfaat
ekonomi bagi masyarakat. Gagasan untuk mengembangkan agrowisata bisa dikaitkan dengan
usaha pelestarian keragaman hayati. Keragaman hayati yang kita miliki bisa dimanfaatkan
untuk mendukung kegiatan agrowisata, misalnya dengan membuat kebun buah-buahan
tropis, kebun raya dengan mengoleksi berbagai jenis tumbuhan yang ada di Bali. Hal ini
mempunyai peluang untuk dipasarkan karena pilihan dan motivasi wisatawan untuk
berkunjung ke suatu tempat tidaklah bersifat statis tetapi selalu berubah. Keinginan untuk
menikmati obyek spesifik seperti kawasan pertanian organik, kawasan perkebunan termasuk
teknologi tradisional yang diterapkan cukup menjanjikan untuk dikembangkan dimasa yang
akan datang.
PENUTUP
Keragaman hayati merupakan komponen penyusun ekosistem alam yang mempunyai
peran sangat besar baik ditinjau dari segi ekologis, sosial, ekonomis maupun budaya.
Perubahan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya akan terjadi bila dalam perjalanan sejarah
keragaman hayati terancam dan berubah menjadi keseragaman hayati. Teknologi yang
berkembang yang diilhami oleh keragaman hayati hendaknya digunakan semaksimal mungkin
untuk melestarikan keragaman hayati itu sendiri, bukan sebaliknya menghancurkan
keragaman hayati. Konsep hidup berdampingan secara harmonis dengan berbagai komponen
hayati penghuni planit bumi ini hendaknya dapat diwujudkan dengan mengedepankan Motto :
Hidup sejahtera bersama.

sumber : ejournal.unud.ac.id

Sabtu, 25 September 2010

Jejaring Sosial Munculkan Lahan Bisnis Baru Ellyzar Zachra PB

Jakarta - Perusahaan yang mengandalkan keuntungan dari jumlah pelanggan dan loyalitas merek kini melirik jejaring sosial. Lahan pekerjaan baru di bidang media sosial pun kini jadi sangat dibutuhkan.
Beberapa bulan terakhir seperti dikutip dari Bloomberg Businessweek, perusahaan Sears Holding, Panasonic, Citigroup, Electronic Arts, AT&T, Fiji Water dan masih banyak lagi mulai mempekerjakan ahli media sosial.
Sebagai pemimpin perusahaan yang begitu mengejar perkembangan dunia digital mereka memanfaatkan kepercayaan dan emosi yang hadir di jejaring sosial. Proses perekrutan ini berazaskan kepada kepercayaan bahwa seseorang mampu memahami perilaku konsumen di internet.
Pete Cashmore yang menjalankan blog Mashable menilai saat ini menjadi peluang bagi industri ini yang benar-benar meledak. “Ada lebih banyak masyarakat yang berpartisipasi saat ini. Ada banyak perusahaan menyadari ini dan menganggap bahwa mereka harus memiliki strategi media sosial,” papar Cashmore.
Hougland Curtis, pendiri Attention, spesialis pemasaran dan Humas berbasis di New York mengatakan pasokan calon berpengalaman tidak mampu memenuhi jumlah permintaan direktur media sosial.
“Mereka mungkin memiliki akun Twitter yang aktif dan blog yang hebat, namun ini bukan berarti mereka mengerti bagaimana memanfaatkan ini (dunia sosial online) dalam konten bisnis.”
Manager sosial media telah membentuk pedoman bagi perusahaan. Beberapa pekerja mungkin tampak curiga atas ide penggunaan Twitter karena hal ini terdengar ‘janggal’. Namun, seringkali terjadi kekhawatiran berlebihan dapat timbulkan masalah.
Begitu pula jika seseorang terlalu banyak ‘menulis’ produk baru di media sosial sehingga dengan cepat kehilangan kontrol pesan. Tahun lalu, Honda memunculkan halaman fans di Facebook. Namun bukannya menarik perhatian, forum ini penuh dengan komentar kritis soal desain mobil baru atau apapun produk Honda. Pada dasarnya, media sosial memang menarik perhatian, tapi termasuk pula komentar negatif.
Jim Durbin, kreator dari media sosial aheadhunter.com, mengatakan berdasarkan pengalaman sebagai direktur media sosial, strategi bisnis ini mampu mengidentifikasi kebutuhan perusahaan.
Mereka akan membantu perusahaan menggunakan alat jejaring sosial dengan baik. Cara bisnis ini bagi aheadhunter.com bisa meraup keuntungan US$120 ribu (Rp1,1 miliar). Jumlah ini akan terus meningkat.
Nilai tinggi ini disebabkan perangkat profesi mereka gratis, sebuah keuntungan bagi para manager media sosial baru di mana seringkali terbentur oleh dana operasional. Salah satu cara adalah bekerja sama dengan departemen marketing lain untuk menciptakan kampanye lewat media sosial. Salah satunya pemanfaatan ‘brand ambassador’ dari perusahaan tersebut sebagai cara marketing strategis.
“Masyarakat sering kali tidak lagi mempercayai perusahaan,” ujar Scott Monty, kepala media sosial di Ford. “Mereka mempercayai ahli pihak ketiga. Kami percaya bahwa strategi media sosial Ford akan lebih ‘manusia’ jika menggunakan platform seperti Twitter. Pada dasarnya ini merupakan jejaring sosial paling pribadi,” tambah Monty.
Twitter merupakan bentuk komunikasi antar pribadi dalam lingkup publik sehingga interaksi seseorang dengan perusahaan besar seperti Ford misalnya, dapat menumbuhkan persepsi bahwa Ford mendengarkan mereka, tandas Monty. [mdr]

PENTINGNYA SOSIALISASI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK

Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
A. PENTINGNYA SOSIALISASI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1. PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai metreka dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.
Greenstein dalam karyanya “International Encyolopedia of The Social Sciences” 2 definisi sosialisasi politik:
a. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini.
b. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal belajat bersikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
a. Tingkat Komunitas
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
b.Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka.
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan
2. METODE SOSIALISASI POLITIK ( oleh Rush dan Althoff)
1. Imitasi
Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi.
2. Instruksi
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya.
3. Motivasi
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error).
Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik.
Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
1. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses sosialisasi politik secara eksplisitdalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam hubungna-hubungan dan pemuasan-pemuasan interpersonal.
2. Magang
Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik.
3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.
Proses sosialisasi langsung terjadi melalui:
1) Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.
2) Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau posisi social yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
3) Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh individu yang disosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembaga-lembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat terpelihara.
4) Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya didalam proses politik.
3. SARANA SOSIALISASI POLITIK

1. Keluarga
Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah dewasa.
2. Sekolah
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
3. Kelompok Pertemanan (Pergaulan)
Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi politik selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa. Takott Parson menyatakan kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen sosialisasi politik yang sangat penting pada masa anak-anak berada di sekolah menengah atas. Selama periode ini, orang tua dan guru-guru sekolah sebagai figur otoritas pemberi transmitter proses belajar sosial, kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya peranan kelompok-kelompok klik, gang-gang remaja dan kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi semakin penting. Pengaruh sosialisasi yang penting dari kelompok pertemanan bersumber di dalam factor-faktor yang membuat peranan keluarga menjadi sangat penting dalam sosialisasi politik yaitu:
a. Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok pertemanan terhadap anggota mereka.
b. Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di dalamnya.
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
a. Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting dari informasi dan sikap-sikpa tentang dunia social dan politik. Kelompok pertemanan berfungsi sebagai “communication channels”.
b. Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi politik sangat penting karena ia melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi politik yang lebih khusus tentang dunia politik.
c. Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau menekan mereka untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang diterima oleh kelompok. Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu untuk menerima orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara mengancam memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan terhadap norma-norma keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh perhatian kepad amereka yang menyimpang.
4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi formal maupun non formal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat buruh, klub social dan yang sejenisnya merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas.
5. Media Massa
Media massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan internet memegang peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan infoprmasi tentang informasi-informasi politik, media massa juga menyampaika nilai-nili utama yang dianut oleh masyarakatnya.
6. Kontak-kontak Politik Langsung
Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang telah ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, mengalami etidakadilan, atau teraniaya oleh militer, maka pandangan terhadap dunia politik sangat mungkin berubah.
4. PERANAN PARTAI POLITIK DALAM SOSIALISASI BUDAYA POLITIK
A. PENGERTIAN PARTAI POLITIK
Di bawah mi disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik:
Carl J. Fredirch, mendefinisikan partai politik adalah:
“Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan pengawasan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan berdasarkan pengawasan mi memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material” (a political party is a group of human beings stability organized with the objective of giving to members of the party, trough such control ideal and material benefits and advantages.
Raymond Garfield Gettel memberi batasan bahwa:
“Partai politik terdiri dan sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memakai kekuasaan memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party of a group of citizens, more or less organized who act s political unit and who, by the use of their voting power and to control the government and carry out their general polingles.
Menurut George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah:
“Sekelompok orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure control ‘f government morder to puts program in to effect and it member in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
“Organisasi dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan satu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda” (a political party terniiculate organization of society as active political agent those who are conserned with the control of the governmental power and who compete for popular support with another group holding divergent view).’2
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
“Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party is a group of citizen more or less organized, who act as a political unit and who, bay the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general politicies). 13
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang sama.
Menurut George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah:
“Sekelompok orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure control ‘f government morder to puts program in to effect and it member in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
“Organisasi dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan satu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda” (a political party terniiculate organization of society as active political agent those who are conserned with the control of the governmental power and who compete for popular support with another group holding divergent view).’2
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
“Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party is a group of citizen more or less organized, who act as a political unit and who, bay the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general politicies). 13
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang sama.
B. MACAM – MACAM PARTAI POLITIK
Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:
1. Partai Massa,
dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun demikian, parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri;
2. Partai Kader,
kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.
(Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah; Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November 2005, Depok. Halaman 567-568)
Sedangkan tipologi berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan kepentingan, menurut Ichlasul Amal terdapat lima jenis partai politik, yakni:
1. Partai Proto,
adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini. Ciri yang paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara kelompok anggota atau “ins” dengan non-anggota “outs”. Selebihnya partai ini belum menunjukkan ciri sebagai partai politik dalam pengertian modern. Karena itu sesungguhnya partai ini adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi masyarakat;
2. Partai Kader,
merupakan perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan partai ini terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai ini adalah konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat;
3. Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi pada pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;
4. Partai Diktatorial,
sebenarnya merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi yang lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai dilakukan secara lebih selektif daripada partai massa;
5. Partai Catch-all,
merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali di kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai “menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang kaku
(Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996)
Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi tiga macam yaitu;
1. Partai Para Pemuka Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu ketat, yang pada umumnya tidak dipimpin secara sentral ataupun profesional, dan yang pada kesempatan tertentu sebelum pemilihan anggota parlemen mendukung kandidat-kandidat tertentu untuk memperoleh suatu mandat;
2. Partai Massa, sebagai jawaban terhadap tuntutan sosial dalam masyarakat industrial, maka dibentuklah partai-partai yang besar dengan banyak anggota dengan tujuan utama mengumpulkan kekuatan yang cukup besar untuk dapat membuat terobosan dan mempengaruhi pemerintah dan masyarakat, serta “mempertanyakan kekuasaan”;
3. Partai Kader, partai ini muncul sebagai partai jenis baru dengan berdasar pada Lenin. Mereka dapat dikenali berdasarkan organisasinya yang ketat, juga karena mereka termasuk kader/kelompok orang terlatih yang personilnya terbatas. Mereka berpegangan pada satu ideologi tertentu, dan terus menerus melakukan pembaharuan melalui sebuah pembersihan yang berkseninambungan.
C. SISTEM KEPARTAIAN
Sistem kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik.
Sistem partai di Negara manapun dalam suatu jangka waktu tertentu memiliki persamaan – persamaan dan perbedaan – perbedaan sistem yaitu;
  1. sistem partai pluralistis
  2. sistem partai dominant
D. SYARAT – SYARAT PENDIRIAN PARTAI POLITIK
1. Partai politik harus didirikan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang
warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
2. Dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.
3. Pendirian Partai Politik harus disertai dengan akta notaris. Dalam akta
notaris tersebut harus memuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran
Rumah Tangga (ART) serta kepengurusan partai politik tingkat pusat.
4. Anggaran Dasar (AD) partai politik memuat paling sedikit:
a. asas dan ciri partai politik;
b. visi dan misi partai politik
c. nama, lambang, dan tanda gambar partai politik;
d. tujuan dan fungsi partai politik;
e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. kepengurusan partai politik;
g. peraturan dan keputusan partai politik;
h. pendidikan politik; dan
i. keuangan partai politik
4. Kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan.
5. Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota
disusun dengan memperhatikan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) keterwakilan perempuan yang diatur dalam AD dan ART partai
politik masing-masing.
E. TUJUAN PARTAI POLITIK
Tujuan umum Partai Politik adalah :
a. Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
F. FUNGSI PARTAI POLITIK
Adapun fungsi partai politik, menurut Sigmund Neumann (1981), ada 4 (empat) yaitu :
1. fungsi agregasi.
Partai menggabungkan dan mengarahkan kehendak umum masyarakat yang kacau. Sering kali masyarakat merasakan dampak negatif suatu kebijakan pemerintah, misalnya kenaikan BBM di Indonesia 1 Oktober 2005 lalu yang demikian tinggi. Namun ketidakpuasan mereka kadang diungkapkan dengan berbagai ekspresi yang tidak jelas dan bersifat sporadis. Maka partai mengagregasikan berbagai reaksi dan pendapat masyarakat itu menjadi suatu kehendak umum yang terfokus dan terumuskan dengan baik.
2. fungsi edukasi.
Partai mendidik masyarakat agar memahami politik dan mempunyai kesadaran politik berdasarkan ideologi partai. Tujuannya adalah mengikutsertakan masyarakat dalam politik sedemikian sehingga partai mendapat dukungan masyarakat. Cara yang ditempuh misalnya dengan memberi penerangan atau agitasi menyangkut kebijakan negara serta menjelaskan arah mana yang diinginkan partai agar masyarakat turut terlibat perjuangan politik partai.
3. fungsi artikulasi.
Partai merumuskan dan menyuarakan (mengartikulasikan) berbagai kepentingan masyarakat menjadi suatu usulan kebijakan yang disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan suatu kebijakan umum (public policy). Fungsi ini sangat dipengaruhi oleh jumlah kader suatu partai, karena fungsi ini mengharuskan partai terjun ke masyarakat dalam segala tingkatan dan lapisan. Bila fungsi ini dilakukan ditambah dengan fungsi edukasi, ia akan menjadi komunikasi dan sosialisasi politik yang sangat efektif dari partai yang selanjutnya akan menjadi lem perekat antara partai dan massa.
4. fungsi rekrutmen.
Ini berarti partai melakukan upaya rekrutmen, baik rekrutmen politik dalam arti mendudukan kader partai ke dalam parlemen yang menjalankan peran legislasi dan koreksi maupun ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan, maupun rekrutmen partai dalam arti menarik individu masyarakat untuk menjadi kader baru ke dalam partai. Rekrutmen politik dilakukan dengan jalan mengikuti pemilihan umum dalam segala tahapannya hingga proses pembentukan kekuasaan. Karenanya, fungsi ini sering disebut juga fungsi representasi.
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut: (a) Representatif (perwakilan), (b) Konvensi dan Agregasi, (c) Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), (d) Persuasi, (e) Represi, (f) Rekrutmen, (g) Pemilihan pemimpin, (h) Pertimbangan-pertimbangan, (i) Perumusan kebijakan, serta (j) Kontrol terhadap pemerintah. (Macridis : dalam buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988).
G. HAK PARTAI POLITIK
  1. Perlakuan sama adil, sederajat dari negara
  2. Mengatur RTO secara mandiri
  3. Ikut pemilu
  4. Mencalonkan pres & wapres dll.
H. KEWAJIBAN PARTAI POLITIK
  1. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945
  2. Menjaga keutuhan NKRI
  3. Menjunjung tinggi hukum, demokrasi, HAM
  4. Menyukseskan PEMILU dan Pembangunan dll.
B. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 – 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin “Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing”. Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
  • Rezim otoriter – warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
  • Rezim patrimonial – warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya.
  • Rezim partisipatif – warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
  • Rezim demokratis – warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.
1. PENYEBAB TIMBULNYA GERAKAN KEARAH PARTISIPASI POLITIK

Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
2. JENIS – JENIS PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga tak punya keleluasaan untuk otonom dari jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
1. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai kegiatan. Biasanya dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan.
Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya ( voter turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak memilih seluruhnya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara – Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
2. Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di Negara otoriter seperti komunis, partisipasi masa diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Tetapi tujuan yang utama dari partisipasi massa dalam masa pendek adalah untuk merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern dan produktif. Hal ini memerlukan pengarahan yang ketat dari monopoli partai politik.
Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum dinilai dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system pemilihan di Negara otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon tersebut harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai komunis.
Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat di bina melalui organisasi – organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi – organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi yang bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat intensif dan luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi ada unsur mobilisasi partisipasi di dalamnya karena bentuk dan intensitas partisipasi ditentukan oleh partai.
Di Negara – Negara otoriter yang sudah mapan seperti China menghadapi dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang diharapkan. Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada saat itu dicetuskannya gerakan “Kampanye Seratus Bunga” yaitu dimana masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran kontrol ini tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi tragedy Tiananmen Square pada tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa kehilangan nyawanya dalam bentrokan dengan aparat, dan akhirnya pemerintah memperketat kontrol kembali.
3. Partisipasi Politik di Negara Berkembang
Negara berkembang adalah negara – Negara baru yang ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya dari Negara maju. Hal ini dilakukan karena menurut mereka berhasil atau tidaknya pembangunan itu tergantung dari partisipasi rakyat. Peran sertanya masyarakat dapat menolong penanganan masalah – masalah yang timbul dari perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, agama dan sebagainya. Pembentukan identitas nasional dan loyalitas diharapkan dapat menunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu terjadi di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa Negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Partisipasi Politik Masyarakat
1. Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor Politik
Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik.
Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual
maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119)
.
b. Kesadaran Politik.
Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan
masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22).
c. Pengetahuan Masyarakat terhadap
Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil (RamlanSurbakti 1992:196).
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.
Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik,
memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan
agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber
kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K. Manullang dan Gitting,1993:13).
4. Faktor Nilai Budaya
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi, 1995). Faktor
nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
3. BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Budaya politik partisipan dicirikan dengan adanya orientasi yang tinggi terhadap semua objek politik, baik objek umum, input, output serta pribadinya sendiri selaku warga negara.
Pelaksanaan budaya politik partisipan juga dapat diterapkan oleh seorang pelajar dilingkungan sekolahnya.

sumber : http://zanas.wordpress.com

Serah Terima Tugas Pelaksana Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya

Setelah tiga tahun bertugas di KBRI Buenos Aires, Erna Herlina, Sekretaris Kedua, yang selama ini bertugas menangani masalah-masalah Penerangan dan Sosial Budaya, mengakhiri masa tugasnya tepat pada tanggal 31 Juli 2009. Tugas-tugas penerang dan sosial budaya selanjutnya diserahkan kepada Dewi Lestari, Sekretaris Ketiga, yang selama ini melaksanakan tugas sebagai staf pada fungsi ekonomi dalam acara serah terima tugas dan tanggung jawab yang dilakukan dihadapan Duta Besar RI untuk Argentina merangkap Paraguay dan Uruguay, para Home Staff, guru-guru bahasa Indonesia dan staf fungsi pensosbud.

Dalam sambutannya, Erna Herlina menyampaikan terima kasih atas bimbingan dari Duta Besar RI serta berbagai pihak yang telah membantunya dalam melaksanakan tugas. Dalam masa penugasannya Erna telah mengadakan berbagai kegiatan baik dalam skala kecil maupun besar antara lain pertunjukan seni dan budaya dalam rangka peringatan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Argentina, pentas seni dan budaya Aceh pada tahun 2007 di Auditorium Belgrano serta pertunjukan senda tari Ramayana bekerja sama dengan Universidad Catolica Argentina (UCA) pada bulan Maret tahun yang lalu.

Pada kesempatan tersebut, Duta Besar RI menyampaikan penghargaan atas kerja keras yang telah ditunjukkan selama tiga setengah tahun. Diharapkan di masa depan kinerja tersebut dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Duta Besar RI juga mengatakan bahwa berbagai kritik yang selama ini diberikan bertujuan membina dan memperbaiki dan diharapkan dapat menjadi bekal dalam menapaki karir di dunia diplomasi Indonesia.

Selain acara serah terima tugas dan tanggung jawab, pada sore harinya diadakan pula acara perpisahan di KBRI Buenos Aires. Selain bagi Erna, acara ini ditujukan pula untuk perpisahan bagi Sofia Vaccarini, Kepala sekolah Escuela de la Republica de Indonesia yang memasuki masa pensiun, serta Atase Pertahanan KBRI Brazilia yang wilayah tugasnya merangkap pula Argentina, Kolonel Supomo, yang sedang berkunjung ke Buenos Aires dalam rangka berpamitan karena akan mengakhiri masa tugasnya.

Acara ini berlangsung haru dan meriah dengan penampilan BRAM, band remaja KBRI Buenos Aires, tari topeng serta berbagai hiburan lainnya. Dalam kesempatan ini hadir pula guru-guru dari Escuela de la Republica Indonesia, keluarga besar KBRI serta masyarakat Indonesia di Buenos Aires.

sumber : http://www.kbri-buenosaires.org.ar

Rasisme dan Darwinisme Sosial di Amerika

Rasisme dan Darwinisme Sosial di Amerika
Tidak hanya di Inggris, Darwinisme sosial juga memberikan dukungan bagi kaum rasis dan imperialis di negara-negara lain. Karenanya, paham ini tersebar dengan cepat ke seluruh dunia. Yang terdepan di antara para penganut teori tersebut adalah presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt. Roosevelt adalah pendukung terkemuka dan tokoh yang menerapkan program pembersihan etnis terhadap penduduk asli Amerika dengan dalih “pemindahan paksa”. Dalam buku The Winning of the West, ia merumuskan ideologi pembantaian, dan mengatakan bahwa peperangan antar ras hingga titik penghabisan melawan suku Indian sungguh tidak terelakkan.25 Yang menjadi sandaran utamanya adalah Darwinisme, yang telah memberikan dalih baginya untuk menganggap penduduk asli sebagai spesies terbelakang.
Sebagaimana perkiraan Roosevelt, tak satupun perjanjian dengan penduduk asli Amerika yang dihormati, dan ini pun mendapatkan pembenaran palsu dari teori “ras terbelakang”. Pada tahun 1871, Konggres mengabaikan semua perjanjian yang dibuat dengan penduduk asli Amerika dan memutuskan untuk membuang mereka ke daerah tandus, tempat mereka menunggu-nunggu saat datangnya kematian. Jika pihak lain tidak dianggap sebagai manusia, bagaimana mungkin perjanjian yang dibuat dengan mereka memiliki keabsahan?
Roosevelt juga mengemukakan bahwa peperangan antar ras sebagaimana disebutkan di atas merupakan tanda keberhasilan tersebarnya orang-orang berbahasa Inggris (Anglo-Saxons) ke seluruh dunia.26
Salah seorang pendukung utama rasisme Anglo-Saxon, pendeta evolusionis Protestan asal Amerika, Josiah Strong, memiliki jalan berpikir yang sama. Ia menulis perkataan berikut:
Kemudian dunia benar-benar akan memasuki babak baru dalam sejarahnya – kompetisi akhir di antara ras-ras di mana ras Anglo-Saxon tengah menjalani pelatihan untuk menghadapinya. Jika perkiraan saya tidak keliru, ras kuat ini akan bergerak memasuki Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, bergerak keluar memasuki pulau-pulau yang ada di lautan, ke seberang memasuki Afrika dan seterusnya, dan menguasai semua wilayah. Dan adakah yang meragukan bahwa hasil kompetisi ini adalah “kelangsungan hidup bagi yang terkuat?”.27
Kaum rasis terkemuka yang menggunakan Darwinisme Sosial sebagai dalih adalah mereka yang memusuhi ras kulit hitam. Mereka mengelompokkan ras menjadi beberapa tingkatan, menempatkan ras kulit putih sebagai yang paling unggul dan kulit hitam sebagai yang paling primitif. Teori-teori rasis mereka ini sangat bersesuaian dengan teori evolusi.28
Salah seorang pakar teori rasis evolusionis terkemuka, Henry Fairfield Osborn, menulis dalam sebuah artikel berjudul The Evolution of Human Races bahwa “kecerdasan standar rata-rata orang Negro dewasa setara dengan anak muda Homo sapiens berusia sebelas tahun”29
Berdasarkan cara berpikir ini, orang-orang kulit hitam sama sekali bukan tergolong manusia. Pendukung gagasan rasis evolusionis yang terkenal lainnya, Carleton Coon, mengemuka-kan dalam bukunya The Origins of Race yang terbit pada tahun 1962 bahwa ras kulit hitam dan ras kulit putih adalah dua spesies berbeda yang telah berpisah satu sama lain pada zaman Homo erectus. Menurut Coon, ras kulit putih berevolusi lebih maju setelah pemisahan ini. Para pendukung diskriminasi terhadap ras kulit hitam telah menggunakan penjelasan ‘ilmiah’ ini sejak lama.
Keberadaan teori ilmiah yang mendu-kungnya telah meningkatkan pertumbuhan rasisme di Amerika dengan pesat. W.E. Dubois, yang dikenal sebagai penentang diskriminasi ras, menyatakan bahwa “permasalahan abad ke-20 adalah permasalahan tentang diskrimi-nasi warna kulit”. Menurutnya, kemunculan masalah rasisme yang sedemikian meluas di sebuah negara yang ingin menjadi paling demokratis di dunia, yang dalam beberapa hal tampak berhasil mencapainya, merupakan suatu keanehan yang cukup penting. Penghapusan perbudakan belumlah cukup untuk membangun persaudaraan di antara orang-orang kulit hitam dan kulit putih. Ia berpendapat bahwa diskriminasi resmi, yang dahulunya pernah diberlakukan dalam waktu singkat, pada masa sekarang telah menjadi suatu kenyataan dan keadaan yang sah secara hukum, yang jalan keluarnya masih dalam pencarian30
Kemunculan undang-undang diskriminasi ras pertama, yang dikenal sebagai “Undang-Undang Jim Crow” (Jim Crow digunakan oleh warga kulit putih sebagai salah satu nama celaan untuk orang kulit hitam) juga terjadi pada masa itu. Ras kulit hitam benar-benar tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia, dipandang rendah dan diperlakukan dengan hina di mana-mana. Terlebih lagi, ini bukanlah sikap segelintir rasis secara orang per orang, namun telah ditetapkan sebagai kebijakan resmi negara Amerika dengan undang-undangnya tersendiri. Segera setelah dikeluarkannya undang-undang pertama yang menyetujui pemisahan ras pada kereta api dan trem di Tennessee pada tahun 1875, seluruh negara bagian di Selatan menerapkan pemisahan ini pada kereta api mereka. Tanda bertuliskan “Whites Only” (“Hanya Untuk Kulit Putih”) dan “Blacks” (“Kulit Hitam”) tergantung di mana-mana. Sebenarnya, semua ini hanyalah pemberian status resmi pada keadaan yang sebelumnya telah ada. Pernikahan antar ras yang berbeda dilarang. Menurut undang-undang yang berlaku, pemisahan ras wajib dilaksanakan di rumah sakit, penjara, dan tempat pemakaman. Pada penerapannya, peraturan ini juga merambah ke hotel, gedung pertunjukan, perpustakaan, bahkan lift dan gereja. Tempat di mana terjadi pemisahan ras paling jelas adalah sekolah. Penerapan kebijakan ini berdampak paling besar terhadap warga kulit hitam, dan merupakan penghalang utama bagi kemajuan peradaban mereka.
Penerapan kebijakan pemisahan ras diwarnai dengan gelombang kekerasan. Terjadi peningkatan tajam pada jumlah orang kulit hitam yang dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan. Antara tahun 1890 dan 1901, sekitar 1.300 orang kulit hitam dihukum mati. Akibat perlakuan ini, orang-orang kulit hitam melakukan perlawanan di beberapa negara bagian.
Gagasan dan teori rasis mewarnai masa-masa tersebut. Tak lama kemudian, rasisme biologis Amerika diterapkan sebagaimana hasil penelitian yang dicapai R. B. Bean melalui metoda pengukuran tengkoraknya, dan dengan dalih melindungi penduduk benua baru tersebut dari gelombang migrasi tak terkendali, muncullah rasisme Amerika gaya . Madison Grant, pengarang buku The Passing of the Great Race (1916) menulis bahwa percampuran dua ras tersebut akan menyebabkan munculnya ras yang lebih primitif dibanding spesies berkelas rendah, dan ia menghendaki pelarangan atas perkawinan antar ras. 31
Rasisme telah ada di Amerika sebelum Darwin, sebagaimana halnya di seluruh dunia. Namun, seperti yang telah kita ketahui, Darwinisme memberikan dukungan nyata terhadap pandangan dan kebijakan rasis di paruh kedua abad ke-19. Sebagai contoh, sebagaimana yang telah kita pahami dalam bab ini, ketika para pendukung rasisme melontarkan pandangan mereka, mereka menggunakan pernyataan Darwinisme sebagai dalih. Gagasan yang dianggap biadab sebelum masa Darwin, kini mulai diterima sebagai hukum alam.


Kebijakan Biadab Pendukung Rasisme-Darwinisme
Pemusnahan Warga Aborigin

Penduduk asli benua Australia dikenal dengan sebutan Aborigin. Orang-orang yang telah mendiami benua tersebut selama ribuan tahun mengalami salah satu pemusnahan terbesar sepanjang sejarah seiring dengan penyebaran para pendatang Eropa di benua tersebut. Alasan ideologis pemusnahan ini adalah Darwinisme. Pandangan para ideolog Darwinis tentang suku aborigin telah memunculkan teori kebiadaban yang harus diderita mereka.
Pada tahun 1870, Max Muller, seorang antropolog evolusionis dari London Anthropological Review, membagi ras manusia menjadi tujuh tingkatan. Aborigin berada di urutan terbawah, dan ras Arya, yaitu orang kulit putih Eropa, di urutan teratas. H.K. Rusden, seorang Darwinis Sosial terkenal, mengemukakan pendapat-nya tentang suku aborigin pada tahun 1876 sebagaimana berikut:
Kelangsungan hidup bagi yang terkuat memiliki arti: kekuatan adalah kebenaran. Dan dengan demikian kita gunakan hukum seleksi alam yang tidak pernah berubah tersebut dan menerapkannya tanpa perasaan belas kasih ketika memus-nahkan ras-ras terbelakang Australia dan Maori...dan kita rampas warisan leluhur mereka tanpa merasa bersalah. 32
Pada tahun 1890, Wakil Presiden Royal Society of Tasmania, James Barnard, menulis: “proses pemusnahan adalah sebuah aksioma hukum evolusi dan keberlangsungan hidup bagi yang terkuat.” Oleh sebab itu, ia menyimpulkan, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa “ada tindakan yang patut dicela” dalam pembunuhan dan perampasan terhadap warga aborigin Australia.33
Akibat pandangan rasis, yang tak mengenal belas kasih, dan biadab yang dikemukakan Darwin, pembantaian dasyat dimulai dengan tujuan memusnahkan warga aborigin. Kepala orang-orang aborigin dipasang menggunakan paku di atas pintu-pintu stasiun. Roti beracun diberikan kepada para keluarga aborigin. Di banyak wilayah di Australia, areal pemukiman aborigin musnah dengan cara biadab dalam waktu 50 tahun.34
Kebijakan yang ditujukan terhadap aborigin tidak berakhir dengan pembantaian. Banyak dari ras ini yang diperlakukan layaknya hewan percobaan. The Smithsonian Institute di Washington D.C. menyimpan 15.000 sisa mayat manusia dari berbagai ras. Sejumlah 10.000 warga aborigin Australia dikirim melalui kapal ke Musium Inggris dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar mereka adalah “mata rantai yang hilang” dalam peralihan bentuk binatang ke bentuk manusia.
Musium tidak hanya tertarik dengan tulang-belulang, pada saat yang sama mereka menyimpan otak orang-orang aborigin dan menjualnya dengan harga mahal. Terdapat pula bukti bahwa warga aborigin Australia dibunuh untuk digunakan sebagai bahan percobaan. Kenyataan sebagaimana dipaparkan di bawah ini adalah saksi kekejaman tersebut:
Sebuah catatan akhir hayat dari Korah Wills, yang menjadi mayor Bowen, Queensland pada tahun 1866, secara jelas menggambarkan bagaimana ia membunuh dan memotong-motong tubuh seorang anggota suku setempat pada tahun 1865 untuk menyediakan bahan percobaan ilmiah.
Edward Ramsay, kepala Musium Australia di Sydney selama 20 tahun sejak 1874, terlibat secara khusus. Ia menerbitkan sebuah buku saku Musium yang memasukkan aborigin dalam golongan “binatang-binatang Australia”. Buku kecil tersebut itu juga memberikan petunjuk tidak hanya tentang cara bagaimana merampok kuburan, namun juga bagaimana menutup luka akibat peluru pada “spesimen” yang baru terbunuh.
Evolusionis Jerman, Amalie Dietrich (yang dijuluki ‘Angel of Black Death’ atau ‘Malaikat Kematian si Hitam’) datang ke Australia untuk meminta kepada para pemilik areal pertanian sejumlah orang Aborigin untuk ditembak dan digunakan sebagai spesimen, terutama kulitnya untuk diisi dengan bahan tertentu untuk kemudian dipajang, untuk diberikan kepada atasannya di Museumnya. Meskipun barang-barangnya telah dirampas, ia dengan segera balik ke negaranya sambil membawa sejumlah spesimennya.
Misionaris New South wales adalah saksi yang merasa ngeri terhadap pembantaian yang dilakukan oleh polisi berkuda terhadap sekelompok yang beranggotakan lusinan orang aborigin, perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala kemudian direbus dan 10 tengkorak terbaiknya dibungkus dan di kirim ke luar negeri. 35
Pemusnahan suku aborigin berlanjut hingga abad ke-20. Di antara cara yang dipergunakan dalam pemusnahan ini adalah pengambilan paksa anak-anak aborigin dari keluarga mereka. Kisah baru oleh Alan Thornhill, yang muncul di Philadelphia Daily News edisi 28 April 1997, mengisahkan perlakuan terhadap suku aborigin sebagai berikut:

sumber : http://miztalie.blogspot.com

Kamis, 23 September 2010

Impotensi Kronis Ilmu Sosial di Indonesia

Harus diakui bahwa saat ini bangsa Indonesia saat ini berada di tepi jurang krisis
multidimensional yang benar-benar menakutkan. Krisis demi krisis bermunculan di surat
kabar, mulai dari krisis ekonomi dan moneter, krisis politik, krisis hukum, krisis moral,
krisis berkepanjangan, krisis kepribadian nasional, dan berpuluh-puluh frasa dengan kata
krisis, sehingga justru malah sering menimbulkan ambiguitas pemaknaan kata krisis itu
sendiri. Tiap orang dengan sekenanya menggunakan kata “krisis” tanpa sering mendalami
apa sebenarnya krisis, dan mengapa kata “krisis” ditempatkan di sana. Semua orang
sepertinya boleh membentuk frasa dengan kata krisis, dan yang lebih aneh lagi, frasa itu
terasa masuk akal dengan realitas sosial yang memang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Penyakit Bangsa yang tak Terdiagnosis
Menilik pendefenisian kata “krisis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pengertian dari kata “krisis” adalah 1) keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit,
2) keadaan yang genting, kemelut, 3) keadaan yang suram (tentang ekonomi, moral, dan
sebagainya. Dengan demikian disesuaikan dengan frasa yang terbentuk, maka kondisi
Indonesia memang tergambarkan sangat berbahaya dan menakutkan. Indonesia saat ini
membutuhkan treatment yang luar biasa intensif, di mana sekadar hasil diagnosa yang
menyertakan frasa dengan kata krisis di depannya, tak mungkin cukup.
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah permasalahan
sosial dan kultural. Semua orang dengan mudah melabelkan frasa dengan kata “krisis”
karena diagnosis terhadap penyakit Indonesia yang tak kunjung dirumuskan dengan baik.
Semua orang merasa dirinya cukup representatif untuk menjadi ilmuwan sosial untuk
memberikan diagnosis sehingga tak seorangpun dari kita memiliki rumusan yang benar,
apa yang sebenarnya dihadapi oleh bangsa kita.
Ini semua terjadi karena ilmu sosial adalah ilmu yang telanjur dianggap mudah
oleh anak-anak bangsa. Ilmu sosial dianggap sebagai ilmu hafalan dan cenderung retoris
bahkan tidak terlalu membutuhkan kemampuan analitik. Ilmu pengetahuan alam yang
cenderung lebih matematis jauh lebih dianggap bergengsi. Akhirnya lahirlah “sarjana”
hukum, “ahli” antropolog, “ahli” ekonomi, “ahli” sosiologi, “ahli” sejarah kebanyakan
yang mengandalkan adu mulut. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa mereka yang
berada di area ilmu pengetahuan alam dan teknologi – dengan anggapan akan kemudahan
ilmu sosial – dengan sekenanya memberi berbagai komentar akan apa yang seharusnya
menjadi area bermain ilmuwan sosial - tanpa memiliki pengetahuan bahkan rujukan
pustaka yang cukup.
Benarkah ilmu sosial lebih mudah daripada ilmu alam? Di mata awam, ilmu alam
sarat dengan rumus-rumus matematika yang cenderung sulit untuk dipahami. Sementara
formulasi matematika, di kalangan ilmuwan sosial seringkali dianggap sarat
reduksionisme, kuantifikasi yang naif, karena menganggap bahwa terlalu banyak hal di
bidang sosial yang tak mungkin diukur dan didekati secara kuantitatif. Akibatnya adalah
timbulnya polaritas yang bukan lagi antara ilmu sosial dan ilmu alam, namun lebih
dangkal lagi yakni antara ilmu kualitatif dan ilmu kuantitatif. Dengan sekenanya timbul
pelabelan bahwa ilmu alam itu kuantitatif sementara ilmu sosial kualitatif. Pelabelan inilah
yang merusak tatanan ilmu sosial, karena perdebatan ilmu bukan lagi akan obyek yang
akan didekati, namun lebih kepada metodologi apa yang digunakan untuk mendekati
obyek permasalahan. Apa yang seharusnya dapat didekati secara kuantitatif atau ditarik ke
dalam struktur aljabar yang ketat ditinggalkan, sehingga berakibat tumpulnya analisis
yang dihasilkan.
Yang diukur dan dianalisis dari sebuah fenomena alam adalah faktor-faktor yang
cenderung tetap dengan universalitas yang dapat dilokalisasi dengan mudah, sehingga
analisis ilmu alam di Eropah akan bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia, dengan
memperhatikan variabel-variabel lokal yang mudah dideteksi, seperti percepatan gravitasi,
kelembaban udara, dan seterusnya. Berlawanan dengan hal itu, ilmu sosial berhadapan
dengan manusia sebagai penentu utama variabel tersebut. Sudah sangat terbukti bahwa
analisis sosiologis atau ekonomi yang berkembang di negara maju belum tentu efektif di
Indonesia. Ada similaritas di dalam berbagai fenomena sosial di seluruh dunia, namun
tidak sama. Contohnya, krisis di Eropa memiliki similaritas dengan di Indonesia, namun
tentunya tidak sama oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan kultur dan ideologi yang
berkembang. Meminjam istilah yang kerap digunakan dalam ilmu alam, terlalu banyak
noise atau pengganggu (disturbance) dalam berbagai fenomena sosial. Artinya pendekatan
analitis dalam ilmu sosial harus benar-benar kuat di mana asumsi-asumsi yang lahir dan
menjadi aksiomanya harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode pemodelan
permasalahan sosial tidak boleh dibuat sekenanya karena berbeda dengan ilmu alam, ilmu
sosial tidak memiliki laboratorium untuk mencobanya secara trial and error.
Laboratorium sosial adalah masyarakat itu sendiri, artinya pemodelan fenomena sosial
harus dibuat berbasis simulasi dengan rule-rule yang bisa dipertanggungjawabkan dengan
baik. Setelah lolos dengan analisis dan ujian simulatif yang ketat, baru bisa diterapkan di
dalam realitas masyarakat.
Ilmu Kompleksitas sebagai Jawaban
Kompleksitas adalah sebuah perkembangan matematika yang lahir dari teori yang
dikenal dengan sebutan teori chaos, sebuah teori yang melihat obyek sebagai sebuah
sistem yang sangat tergantung kepada kondisi awal sistem dan sangat sensitif terhadap
perubahan yang mengganggunya. Pada awal kelahirannya, teori ini dikembangkan oleh
ilmuwan meteorologi, Edwin Lorentz, yang pada akhirnya sampai kepada kesimpulannya
yang menjadi pemeo di kalangan ilmuwan chaos, “kepakan kupu-kupu di pantai Amerika
Selatan bisa menyebabkan badai besar di New York”.
Kompleksitas memandang semua sistem sebagai sebuah sistem yang senantiasa
berubah secara dinamis dan adaptif. Ia memandang sistem berubah secara iteratif dan
mengikuti similaritas tertentu dalam tiap iterasinya: sangat tergantung kepada kondisi
awal iterasi dan sangat peka terhadap gangguan di mana tiap gangguan kecil dapat
mengakibatkan perubahan besar yang muncul (emergence), tak dapat diprediksi secara
linier dari pola analisis biasa.
Sistem sosial adalah juga sistem yang evolutif yang berupaya mencari daerahdaerah
optimum sehingga ia dapat berjalan secara efektif. Inilah pernyataan yang
membangun ilmu sosial, bahwa ada similaritas tertentu sehingga ada kondisi yang sangat
mirip di berbagai fenomena sosial di berbagai belahan dunia. Namun kondisi awal berupa
faktor budaya, ekonomi, dan sosial yang berbeda serta “gangguan” sistem yang berbeda
menuntut analisis solutif yang berbeda pula untuk tiap tatanan masyarakat. Permasalahan
sosial harus dijawab secara spasio-temporal karena tingginya sensitivitas sistem sosial
tersebut.
Perkembangan teknologi komputer telah memungkinkan analisis komputasional
yang serumit apapun untuk diselesaikan. Berbagai fenomena sosial akan dapat lebih tajam
didekati dengan metode ini. Semua fenomena sosial yang selama ini didekati secara
kualitatif dapat ditarik ke level struktur permasalahan, untuk kemudian disimulasikan dan
melihat faktor besar yang mungkin muncul (emergent) untuk dapat diantisipasi dalam
realitas masyarakat yang ada. Ini menjadi perbedaan yang mendasar dengan metode
konvensional, yang berupaya mengukur semua faktor secara kuantitatif dan membuat
model statistikanya, seolah sistem sosial adalah sistem yang linier dan statik.
Bagaikan air yang mengalir dengan turbulensinya yang sangat sensitif,
demikianlah sistem sosial yang mengalir dan mudah sekali berubah. Inilah yang
menyebabkan sistem sosial sedemikian rumit bahkan dekat dengan analisis Navier-Stokes
yang menggambarkan kondisi batas tertentu sistem yang bisa membawa sistem ke dalam
kondisi chaotik hidrodinamika. Namun tentu saja dengan bermodelkan pengetahuan
analitik yang biasa digunakan dalam ilmu alam ini bukanlah satu-satunya modal dasar
untuk memahami sistem sosial dengan pendekatan ini. Setiap analisis yang lahir harus
dimodali dengan pengetahuan akan sistem sosial komprehensif dan ketat, yang selama ini
didekati dengan pendekatan kualitatif. Hal ini jelas diperlukan mengingat kerumitan
sistem sosial tersebut yang jauh lebih ruwet daripada fenomena alam biasa. Dengan
pengetahuan akan fenomena sosial yang kualitatif tadi, ilmu sosial akan menjadi kaya
dengan bagaimana melakukan pengukuran secara sintaktik sistem sosial yang ada, dan
merumuskan bagaimana sistem tersebut ber-evolusi. Itulah sebabnya perlu antar-muka
yang baik antara ilmuwan sosial yang kenal betul dengan fenomena sosial dengan
ilmuwan alam yang mungkin telah terbiasa menggunakan metode ini dalam mengamati
fenomena alam.
Mengatasi Impotensi Ilmu Sosial Kita
Dengan pendekatan ini, kita akan mampu melahirkan analisis sistem sosial yang
muncul dari bawah ke atas (bottom-up) dan tidak lagi sekadar mengekor terhadap analisis
sosial yang digunakan di Eropah. Dengan kata lain, kita mampu merumuskan
permasalahan sosial kita dengan lebih gamblang yang memiliki spesifikasi masyarakat
kita sendiri. Pada akhirnya, yang berbicara dalam area permasalahan sosial adalah mereka
yang memang paham dengan sistem sosial kita, sebagaimana mereka yang faham tentang
ilmu alam berbicara tentang berbagai fenomena alam. Ilmu sosial bukan lagi ilmu yang
mudah dan bersifat hafalan, namun memiliki tingkat kerumitan dan keketatan sendiri yang
perlu didekati secara komprehensif agar dapat mengeluarkan berbagai premis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hanya dengan pendekatan ini, kita dapat mengatasi impotensi ilmu sosial yang
ada. Anggapan bahwa hanya dengan pendekatan kualitatif saja permasalahan sosial bisa
dijawab adalah anggapan keliru yang merusak sistem analisis ilmu sosial itu sendiri. Ilmu
sosial tidak lagi kaya dengan istilah yang serapan asing aneh-aneh dan sukar dimengerti,
namun memiliki kemampuan analitik yang juga mendalam dan mampu memberikan
alternatif solusi bagi permasalahan sosial yang ada. Ini menjadi kritik yang konstruktif
sekaligus tantangan yang positif bagi perkembangan ilmu sosial kita untuk melahirkan
tatanan epistemologis ilmu sosial yang khasi Indonesia, spasio-temporal dan mampu
mendiagnosis bahkan mengkonstruksi alternatif solusi yang jauh dari sekadar retorika
belaka.

sumber : http://bandungfe.net

Kepedulian Sosial Dalam Islam

Ada beberapa kisah kepedulian sosial yang terjadi pada masa Rasulullah. Boleh jadi sebagian dari kita sudah hafal isi kisah tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak terlupa, boleh jadi sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan disampaikan di bawah ini, namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi kembali kisah-kisah ini dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita akan lihat sejumlah ayat Qur’an yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.
Kita terbang lima belas abad kebelakang. Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa nama sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan Islam.
Serombongan bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. Mereka berkata kepada Nabi, “Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama mereka sesuka Anda.”
Uyainah bin Hishn menegaskan lagi, “Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau jubah bulu yang dipakai sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami sehingga kami tidak berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami.”
Tiba-tiba turunlah malaikat jibril menyampaikan surat al-An’am [6] ayat 52:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasukorang-orang yang zalim.”
Nabi saw segera menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka merapat dengan lutut Rasulullah saw. “Salam ‘Alaikum,” kata Nabi dengan keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.
Setelah itu, turun lagi surat al-Kahfi [18] ayat 28:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Sejak itu, apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok mereka.Seringkali beliau berkata, “Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.”
Sekarang bukalah cermin di hati kita. Tariklah nafas sejenak untuk berkaca ke dalam cermin itu. Apakah kita seperti pembesar Quraisy yang terganggu dengan bau tubuh orang miskin. Apabila tamu datang, kota kita bersihkan dan mereka, kaum fukara, dipinggirkan. Kota baru gemerlap bila mereka disingkirkan. Pemandangan baru indah bila rumah-rumah kumuh digusur. Ah…betapa perilaku kita lebih menyerupai pembesar quraisy daripada perilaku Nabi Yang Mulia.
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa’ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, “mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?” Sa’ad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku.” Nabi yang mulia berkata, “ini tangan yang dicintai Allah,” seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
Bukalah cermin hati kita lagi. Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang hitam dan melepuh menunggu uluran kasih sayang kita. Setelah Nabi, adakah di antara kita yang mau mencium tangan orang miskin? Bukankah dengan status yang kita miliki, gelar akademik yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa jauh lebih pantas bila orang miskin mencium tangan kita. Kalau hati terasa berat, andaikata kultur tak mengizinkan kita berbuat hal itu, manakala ego terasa meningkat, bukankah paling tidak kita ganti rasa hormat yang seharusnya kita berikan dengan kasih sayang pada mereka. Bila Nabi mau mencium tangan mereka, maukah kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang kita peroleh sebagai rasa sayang kita pada mereka.
Di atas kita telah mengutip sejumlah kisah dalam hidup Nabi. Bukankah sebagai ummatnya kita telah berikrar untuk menjadikan segala perilaku beliau sebagai contoh teladan (uswatun hasanah). Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita buka Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an adalah rujukan kita yang pertama dalam hidup ini.
Surat al-Balad [90] ayat 10 -18
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya (denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada hubungan kerabat, atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang beriman dan salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayangMereka (orang-orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan”

Sumber : http://shariahlife.wordpress.com